
Lemahnya Implementasi PKPU Edisi 33 Tahun 2018
Suara.com – Kepala Riset dan Program Institut Indonesia (TII), Arfianto Purbolaksono, menuding sensitisasi parpol (parpol) yang tiada henti dilakukan jelang dimulainya kalender kampanye pemilu 2024.
Kondisi ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Apalagi setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan pembentukan sistem proporsional terbuka yang memungkinkan caleg memasang spanduk, baliho, dan poster di sejumlah lokasi strategis. Hal ini juga menjadi faktor rendahnya pelaksanaan kampanye oleh PKPU.
“Lemahnya implementasi PKPU nomor 33 tahun 2018 tentang kampanye membuat sosialisasi acara kampanye yang seharusnya tidak diselenggarakan pada waktu yang tepat,” jelasnya dalam kajian mi policy.-tahun Pusat Kajian Kebijakan Publik TII yang mengangkat topik tersebut . “Sosialisasi Calon Pemilu Dalam Implementasi Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018”. 2018 tentang kampanye pemilihan umum menjelang pemilihan umum 2024.”
Menurut Arfianto, ada sejumlah persoalan dalam implementasi PKPU nomor 33 tahun 2018. Dia mencontohkan, ada perbedaan antara kebijakan tertulis dengan implementasi kebijakan yang diambil penyelenggara.
Baca Juga: Ada Sidang Amanat Ketum Parpol di MK, PDIP Masinton ‘Panas’: Negara Tak Perlu Kelewatan
Berdasarkan fakta di lapangan, lanjutnya, banyak ditemukan calon anggota legislatif (caleg) yang melakukan sosialisasi melalui media sosial selain dengan memasang baliho atau aksesoris lainnya.
“Sehingga memicu persaingan yang ketat di dalam partai politik, yang membuka ruang bagi kandidat potensial untuk saling bersaing untuk menampilkan diri kepada pemilih,” jelasnya.
Ditambah lagi, kata dia, ada calon-calon potensial yang telah menyusun beberapa alat peraga yang cukup signifikan tanpa harus menunggu menjadi calon, apalagi menunggu masa kampanye.
Arfianto mengatakan beberapa rekomendasi harus dibuat berdasarkan tinjauan tengah tahun TII. Pertama, mendorong KPU dan Bawaslu membuat definisi yang jelas tentang sosialisasi di luar masa kampanye.
“Hal ini penting karena memberikan definisi yang jelas tentang penjangkauan di luar masa kampanye dapat memberikan batasan bagi peserta dan dapat diimplementasikan baik dalam pengaturan maupun pengawasan oleh organisasi pelaksana dalam struktur organisasi KPU dan Bawaslu di tingkat daerah,” ujarnya. .
Baca Juga: Gibran Larang Stadion Manahan Solo Karena Berkampanye: Tidak Boleh Berpolitik
Ia mendesak KPU dan Bawaslu mempertimbangkan untuk mengubah dinamika politik yang ada, seperti memberikan klarifikasi tentang sosialisasi di media sosial.
“Karena media sosial sudah menjadi ruang yang banyak digunakan peserta pemilu untuk bersosialisasi.”
Selain itu, yang kedua, menurut dia, mendorong KPU untuk melakukan sosialisasi PKPU di luar masa kampanye. KPU dan Bawaslu memperkuat sosialisasi pada aparatur kedua lembaga tersebut di semua tingkatan.
“Hal ini penting agar ada kesamaan persepsi di lembaga penegak aturan dalam penegakan aturan terkait sosialisasi.Selain itu, KPU dan Bawaslu juga harus memperkuat sosialisasi parpol peserta pemilu agar tidak ‘Jangan melanggar aturan yang mengatur sosialisasi,’ katanya.
Kemudian yang ketiga yaitu mendorong Bawaslu untuk menerapkan hukum jika terjadi pelanggaran. Sebagai lembaga pengawas, Bawaslu harus bisa menegakkan aturan dengan memberikan sanksi jika ada peserta pemilu yang melanggar larangan sosialisasi di luar masa kampanye peserta pemilu.
“Diharapkan sanksi yang dijatuhkan bersifat administratif sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi peserta pemilu yang melanggarnya,” ujarnya.
Terakhir, mendorong penguatan masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawal pelaksanaan aturan sosialisasi di luar masa kampanye. Penguatan masyarakat sipil dalam rangka sosialisasi di luar masa kampanye dapat dilakukan bersama Bawaslu untuk melakukan orientasi bersama.
“Ini penting dilakukan agar bisa diterapkan untuk membantu Bawaslu dalam hal pengawasan sosialisasi,” ujarnya.